Kelelawar telah lama dikenali sebagai reservoir alami berbagai virus yang berpotensi zoonotik, termasuk coronavirus yang terkait dengan sindrom pernapasan akut berat (Severe Acute Respiratory Syndrome-related Coronavirus/SARSr-CoV). Studi jangka panjang terhadap viroma kelelawar menjadi penting dalam memahami potensi transmisi antarspesies, khususnya dalam konteks kesiapsiagaan menghadapi pandemi di masa mendatang. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh tim ilmuwan dari Wuhan Institute of Virology dan Guangzhou National Laboratory menyajikan gambaran kompleks mengenai koinfeksi virus mamalia dalam tubuh kelelawar yang telah terdeteksi positif mengandung SARSr-CoV.
Dalam kurun waktu 16 tahun, dari tahun 2004 hingga 2019, tim peneliti mengumpulkan 238 sampel kelelawar positif SARSr-CoV dari sembilan spesies berbeda yang tersebar di sepuluh provinsi di wilayah selatan dan tengah Tiongkok. Dari total tersebut, 76 sampel dengan kualitas tinggi dipilih untuk dianalisis secara metagenomik guna mengeksplorasi potensi mikroorganisme lain yang ikut bersirkulasi. Metode sekuensing generasi terbaru (Next-Generation Sequencing/NGS) diterapkan untuk menganalisis struktur viroma dan komunitas mikroorganisme lain yang terasosiasi.
Hasilnya memperlihatkan bahwa sekitar 25% dari sampel yang dianalisis mengandung virus mamalia lain selain SARSr-CoV, termasuk Alphacoronavirus seperti AlphaCoV/YN2012, HKU2-related CoV, dan AlphaCoV/Rf-HuB2013. Bahkan, satu individu kelelawar tercatat membawa tiga virus sekaligus, yakni dua jenis coronavirus dan satu picornavirus. Temuan ini memperkuat hipotesis bahwa tubuh kelelawar dapat menjadi habitat bagi berbagai virus sekaligus, yang memungkinkan terjadinya rekombinasi dan evolusi virus baru yang berpotensi zoonotik.
Analisis taksonomi menunjukkan keberadaan lebih dari 1.400 genus virus yang tersebar dalam 206 famili, 61 ordo, 38 kelas, dan 19 filum. Virus-virus ini berasal dari tiga sumber utama: virus yang terasosiasi dengan mamalia (seperti coronavirus, herpesvirus, adenovirus, dan picornavirus), virus yang berasal dari makanan kelelawar (termasuk virus tanaman dan serangga), serta virus dari mikrobioma internal kelelawar seperti virus jamur, bakteri, dan parasit. Misalnya, virus dari famili Mimiviridae yang diketahui menginfeksi ameba ditemukan pada 53 sampel, sementara virus jamur dari Chrysoviridae juga terdeteksi secara luas.
Yang menarik, studi ini juga mengungkap keberadaan bakteri patogen dalam mikrobioma kelelawar. Listeria monocytogenes, penyebab listeriosis pada manusia, ditemukan pada 24 sampel, dengan tiga di antaranya menunjukkan kemiripan genetik lebih dari 99% berdasarkan analisis gen 16S rRNA. Clostridium botulinum, bakteri penghasil toksin botulinum yang memicu botulisme, ditemukan dalam 75 sampel, sebagian besar berasal dari usapan anus. Data ini menunjukkan bahwa kelelawar tidak hanya menjadi inang virus tetapi juga bakteri dan jamur patogen potensial yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Salah satu temuan signifikan adalah dominasi virus herpes mamalia dalam 67,1% dari total sampel yang dianalisis. Virus ini memiliki kemiripan dengan Human Betaherpesvirus 7, yang pada manusia dapat memicu infeksi laten dan reaktivasi sistem imun. Deteksi virus herpes yang konsisten mengindikasikan peran kelelawar sebagai reservoir jangka panjang bagi virus yang mampu beradaptasi dalam sistem imun inangnya.
Selain itu, analisis genetik mendalam terhadap 25 genom virus yang berhasil disusun menunjukkan bahwa sebagian besar membentuk garis evolusi baru yang belum tercatat dalam database virologi internasional. Sebagian virus tersebut juga menunjukkan potensi tinggi untuk beradaptasi dan mengalami mutasi di masa depan. Phylogenetic tree yang dibangun dengan menggunakan algoritma IQtree menunjukkan bahwa virus-virus ini menyimpang dari garis keturunan coronavirus klasik, memperkuat kemungkinan evolusi virus baru yang belum dikenali sebelumnya.
Distribusi geografis virus juga memperlihatkan pola yang beragam. Provinsi Yunnan mencatat jumlah sampel positif terbanyak (42,44%), diikuti oleh Guangdong dan Hubei. Mayoritas sampel diambil dari spesies kelelawar Rhinolophus sinicus (68%), spesies yang juga diketahui sebagai inang dari pendahulu SARS-CoV dan SARS-CoV-2. Penggunaan perangkat lunak seperti ArcGIS dan R memperkuat visualisasi spasial dan temporal penyebaran virus, membantu pemetaan risiko berdasarkan daerah dan spesies.
Sebagai tambahan, para peneliti juga mengamati potensi retrovirus dalam tubuh kelelawar. Fragmen dari kelas Retroviridae, Metaviridae, dan Preplasmiviricota yang ditemukan kemungkinan berasal dari infeksi retrovirus aktif maupun elemen virus endogen. Ini menunjukkan adanya interaksi jangka panjang antara virus dan genom inang, suatu proses yang dapat mempengaruhi evolusi kelelawar maupun virus itu sendiri.
Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan pemahaman baru mengenai ekosistem viroma kelelawar yang sangat kompleks dan dinamis. Koinfeksi yang umum antara virus mamalia dengan SARSr-CoV memperbesar kemungkinan terjadinya rekombinasi genetik antar virus, yang merupakan salah satu mekanisme utama munculnya varian baru dengan potensi patogenik yang tinggi. Lebih lanjut, keberadaan bakteri dan jamur patogen juga menunjukkan bahwa kelelawar merupakan vektor ekologis yang sangat signifikan.
Dalam konteks kesehatan masyarakat global, hasil studi ini sangat relevan untuk perencanaan sistem deteksi dini dan pengawasan penyakit zoonosis. Studi longitudinal seperti ini, dengan cakupan geografis dan taksonomi yang luas, sangat dibutuhkan untuk memprediksi dan memitigasi risiko pandemi di masa depan. Selain itu, integrasi data metagenomik dengan pendekatan epidemiologi dan ekologi molekuler akan semakin memperkuat upaya global dalam mengantisipasi kemunculan penyakit menular baru.
Dengan memahami bagaimana virus dan mikroba lain bersirkulasi secara simultan dalam tubuh kelelawar, kita dapat merancang intervensi berbasis data yang lebih efektif dan mendalam. Penelitian lanjutan sangat disarankan untuk menelaah interaksi spesifik antara virus-virus tersebut dan mengevaluasi kemampuan infektivitas lintas spesies melalui model hewan dan kultur sel. Upaya ini diharapkan dapat memperkuat sistem pertahanan biologis dan memperkecil kemungkinan terulangnya pandemi serupa seperti COVID-19.
Sumber:
Leave a Reply