Kecepatan, sensitivitas, dan spesifisitas merupakan elemen kunci dalam sistem diagnostik untuk penyakit infeksi akut, termasuk infeksi yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Dalam konteks deteksi cepat dan akurat terhadap virus penyebab penyakit Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), teknologi berbasis imunodiagnostik terus dikembangkan. Salah satu pendekatan terbaru yang menjanjikan adalah pemanfaatan antibodi unggas atau imunoglobulin Y (IgY) yang telah dilabeli dengan titik karbon berbasis kurkumin, untuk menghasilkan sistem deteksi berbasis fluoresensi yang cepat, selektif, dan dapat diterapkan di berbagai lingkungan diagnostik.
Teknologi ini diawali dengan produksi imunoglobulin Y yang diperoleh dari kuning telur ayam setelah proses imunisasi terhadap antigen spesifik SARS-CoV-2, seperti protein spike atau nukleokapsid. Imunoglobulin Y memiliki keunggulan dalam hal kestabilan suhu, biaya produksi yang rendah, dan sifat non-reaktif terhadap sistem komplemen manusia, menjadikannya kandidat ideal untuk diagnosis berbasis antibodi. Namun, untuk mengoptimalkan kemampuan deteksi secara visual dan kuantitatif, diperlukan sistem pelabelan yang efisien dan ramah lingkungan.
Pelabelan imunoglobulin Y dengan titik karbon atau carbon dots yang bersumber dari kurkumin memperkuat performa fluoresensi sistem sensor. Kurkumin, senyawa polifenol alami yang diekstraksi dari rimpang tanaman Curcuma longa, tidak hanya dikenal karena aktivitas antioksidan dan antimikrobanya, tetapi juga memiliki kemampuan sebagai prekursor dalam sintesis titik karbon melalui metode pirolisis terkendali. Titik karbon kurkumin memiliki sifat fluoresen yang kuat, stabilitas fotokimia yang baik, dan biokompatibilitas tinggi, menjadikannya pilihan unggul dalam sistem penanda biosensor berbasis cahaya.
Proses pelabelan dilakukan melalui ikatan kovalen atau adsorpsi elektrostatis antara permukaan titik karbon dan rantai peptida antibodi. Setelah dilabeli, imunoglobulin Y diteteskan ke substrat pengujian yang telah dipreparasi dengan antigen target. Jika antigen SARS-CoV-2 hadir dalam sampel, maka kompleks antigen-antibodi terbentuk, dan sinyal fluoresen dari titik karbon dapat dideteksi menggunakan spektroskopi fluoresensi atau perangkat portabel berbasis fotodetektor. Intensitas cahaya yang dipancarkan sebanding dengan konsentrasi antigen dalam sampel, memungkinkan kuantifikasi yang cepat dalam hitungan menit.
Keunggulan dari metode ini terletak pada sifat biosensor yang tidak memerlukan reagen tambahan atau langkah pemrosesan berulang seperti pada reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR). Selain itu, sistem ini mampu beroperasi dalam kondisi lingkungan terbatas karena ketahanan imunoglobulin Y terhadap suhu tinggi serta kestabilan titik karbon yang tahan terhadap degradasi fotokimia. Kombinasi keduanya menciptakan platform diagnostik berbasis fluoresensi yang sangat potensial untuk diterapkan dalam uji lapangan, bandara, pusat layanan kesehatan primer, dan bahkan penggunaan individual.
Dari sudut pandang pengembangan teknologi medis dan kedaruratan kesehatan masyarakat, integrasi antara titik karbon kurkumin dan antibodi unggas membuka jalan menuju sistem deteksi SARS-CoV-2 yang cepat, murah, dan skalabel. Teknologi ini juga dapat diperluas untuk pengembangan biosensor terhadap patogen lain dengan menyesuaikan jenis antigen dan antibodi, menjadikannya sebagai teknologi fleksibel yang sesuai dengan dinamika epidemi global.
Sebagai kesimpulan dalam model segitiga terbalik ini, pelabelan imunoglobulin Y dengan titik karbon berbasis kurkumin merepresentasikan pendekatan inovatif dalam teknologi diagnostik berbasis fluoresensi. Tidak hanya berkontribusi terhadap percepatan deteksi SARS-CoV-2, tetapi juga menunjukkan arah baru pengembangan biosensor ramah lingkungan, sensitif, dan adaptif untuk kebutuhan deteksi cepat berbagai agen infeksius di masa mendatang.
Leave a Reply