Jejak Genetik Laut Dalam: Mengungkap Mikroorganisme Tak Terlihat melalui eDNA

Pembahasan mengenai bagaimana jejak genetik dari laut dalam mampu mengungkap spesies mikroorganisme yang tidak pernah terlihat oleh mata manusia menjadi semakin penting pada era ketika eksplorasi samudra menghadapi keterbatasan teknis. Zona hadal dan bathial yang berada pada tekanan ekstrem, suhu sangat rendah, dan kegelapan total menyimpan kehidupan mikroba yang selama berabad-abad tidak dapat dijangkau oleh pendekatan observasi langsung. Melalui analisis deoksiribonukleat lingkungan (environmental DNA/eDNA), para peneliti kini dapat membaca keberadaan organisme yang tidak pernah tertangkap kamera maupun instrumen biologis konvensional. Dengan demikian, “jejak genetik laut dalam” bukan sekadar metafora, tetapi sebuah pendekatan ilmiah yang mengubah cara kita memahami biodiversitas mikroba di kedalaman samudra Indonesia yang termasuk salah satu kawasan paling dinamis secara geologis dan biologis di dunia.

Pendekatan eDNA bekerja dengan mengumpulkan fragmen genetik yang dikeluarkan oleh organisme ke dalam lingkungan. Fragmen tersebut dapat berasal dari sel yang mati, ekskresi, maupun sisa metabolik. Pada lingkungan laut dalam, eDNA dapat bertahan dalam kondisi dingin yang stabil, sehingga memberikan rekaman biologis yang lebih terjaga. Ketika sampel air laut atau sedimen diambil dari kedalaman ribuan meter, DNA yang terkandung di dalamnya dapat diekstraksi dan disekuensing menggunakan teknologi sekuensing generasi berikutnya yang disebut next-generation sequencing (NGS) (Béjà et al., 2000). Hasil sekuensing kemudian dianalisis menggunakan perangkat bioinformatika untuk mencocokkan fragmen genetik tersebut dengan basis data genom dunia. Di sinilah peran teknologi menjadi sangat penting karena sebagian besar mikroorganisme laut dalam belum memiliki catatan referensi, sehingga proses identifikasi dilakukan melalui pendekatan filogenetik, yakni menelusuri kedekatan evolusi antara sekuens baru dan kelompok organisme yang telah diketahui (DeLong et al., 2006).

Keunikan laut dalam Indonesia yang berada pada pertemuan Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik menyebabkan variasi habitat mikroba yang sangat beragam. Kawasan ini memiliki ventilasi hidrotermal, zona subduksi aktif, lembah dasar samudra, serta sedimen kaya mineral yang menjadi rumah bagi komunitas mikroorganisme ekstremofil. Mikroorganisme ini hidup dengan memanfaatkan energi kimia seperti sulfur, metana, atau besi yang berasal dari reaksi geokimia pada kerak bumi. Jejak genetik yang ditemukan dari daerah tersebut sering kali memuat sekuens yang tidak mirip dengan organisme permukaan, sehingga memberikan petunjuk mengenai jalur evolusi unik yang hanya terbentuk pada kondisi ekstrem. Dengan demikian, setiap sampel eDNA dari kedalaman bukan hanya memetakan keberadaan spesies, tetapi juga mengungkap sejarah adaptasi fisiologis yang belum pernah diketahui (Atlas dan Bartha, 1993).

Proses analisis eDNA memanfaatkan algoritma bioinformatika seperti sequence clustering, penyelarasan sekuens, dan pemodelan filogenetik untuk menggambarkan struktur komunitas mikroba. Hasil dari pemetaan ini memperlihatkan bahwa komunitas mikroba laut dalam memiliki fungsi ekologis yang sangat penting. Mereka terlibat dalam siklus karbon, nitrogen, sulfur, dan berbagai proses biogeokimia yang memengaruhi kestabilan ekosistem laut secara global. Temuan proteomik dan metabolomik pendukung menunjukkan bahwa banyak mikroorganisme ekstremofil menghasilkan enzim unik yang mampu berfungsi pada tekanan tinggi dan suhu ekstrem, sehingga membuka peluang bagi bioteknologi industri maupun penemuan molekul bioaktif baru (Tringe et al., 2005).

Meskipun demikian, pemanfaatan eDNA untuk memetakan kehidupan laut dalam tetap menghadapi sejumlah tantangan. Keterbatasan basis data genom mikroba ekstremofil menyebabkan banyak sekuens hanya dapat diidentifikasi sampai tingkat taksonomi yang luas. Selain itu, keberadaan DNA bebas dalam air laut dipengaruhi oleh arus dalam, degradasi kimia, serta proses sedimentasi yang dapat memindahkan jejak genetik dari lokasi asalnya. Validasi melalui pendekatan multidisipliner, seperti pemetaan oseanografi fisik dan pengukuran parameter kimia laut, diperlukan agar interpretasi hasil eDNA lebih akurat.

Namun tantangan tersebut bukan penghalang permanen. Dengan meningkatnya ekspedisi laut dalam dan penyimpanan data genom global, identifikasi mikroorganisme baru akan menjadi semakin presisi. Pendekatan eDNA memberikan peluang bagi Indonesia untuk mempercepat eksplorasi hayati laut dalam tanpa mengandalkan teknologi penyelaman berbiaya sangat tinggi. Selain memperkaya ilmu pengetahuan, temuan mikroba unik laut dalam juga berpotensi mendukung inovasi di bidang bioteknologi, farmasi, hingga energi ramah lingkungan (Venter et al., 2004).

Pada akhirnya, jejak genetik laut dalam menunjukkan bahwa kehidupan mikroba yang tidak pernah terlihat mata manusia justru dapat menjadi kunci untuk memahami dinamika ekologis dan evolusi bumi. Melalui integrasi antara teknologi sekuensing, bioinformatika, dan penelitian oseanografi, pendekatan eDNA membuka cakrawala baru dalam eksplorasi biodiversitas. Di tengah semakin besarnya ancaman perubahan iklim terhadap ekosistem laut, kemampuan membaca jejak genetik mikroorganisme menjadi langkah ilmiah penting untuk menjaga keberlanjutan kehidupan di samudra terdalam Indonesia.

Sumber:

Sogin, M. L., Morrison, H. G., Huber, J. A., Welch, D. M., Huse, S. M., Neal, P. R., … & Herndl, G. J. (2006). Microbial diversity in the deep sea and the underexplored “rare biosphere”. Proceedings of the National Academy of Sciences103(32), 12115-12120.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *