Keberhasilan transmisi penyakit tropis seperti leishmaniasis sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan yang kompleks, termasuk suhu dan mikrobioma serangga vektor. Lutzomyia longipalpis, lalat pasir dari famili Psychodidae, merupakan vektor utama penyebaran parasit Leishmania infantum di kawasan Amerika. Dalam menghadapi perubahan iklim global, pemahaman terhadap interaksi antara suhu lingkungan dan mikrobiota internal vektor menjadi semakin penting. Studi terbaru menunjukkan bahwa preferensi suhu dalam lingkungan terkontrol dapat memengaruhi keanekaragaman dan komposisi komunitas mikrobioma pada serangga vektor ini, yang pada akhirnya berimplikasi pada kapasitas transmisi patogen.
Dalam studi yang dilakukan oleh Duque-Granda et al. (2024), digunakan perangkat gradien suhu linier yang memungkinkan pengamatan terhadap preferensi suhu Lu. longipalpis liar yang dikumpulkan dari wilayah Ricaurte, Cundinamarca, Kolombia. Gradien suhu yang diujikan berkisar antara 21–34 °C. Setelah satu jam paparan, lalat pasir dipisahkan berdasarkan suhu tempat mereka ditemukan. DNA total diekstraksi dari setiap kelompok suhu dan dianalisis menggunakan teknik sekuensing amplicon gen 16S rRNA untuk mengidentifikasi mikrobiota bakteri yang menyertainya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tiga filum utama yang mendominasi mikrobioma lalat pasir pada seluruh rentang suhu adalah Proteobacteria, Firmicutes, dan Actinobacteria. Pada suhu 21–29 °C serta pada 34 °C, genus Pseudomonas mendominasi komunitas bakteri, sementara pada suhu 29–33 °C, dominasi beralih pada genus Bacillus yang meningkat hingga 67,24%. Keberadaan Serratia paling tinggi tercatat pada suhu 25–27 °C dengan representasi mencapai hampir 50%. Temuan ini menunjukkan bahwa perubahan suhu lingkungan menyebabkan pergeseran dramatis dalam komposisi mikrobioma, yang kemungkinan besar juga mengubah fungsi biologis internal vektor.
Dalam hal keanekaragaman, tidak ditemukan perbedaan signifikan pada alpha diversity berdasarkan indeks Shannon-Wiener, Simpson, dan Chao1. Namun, perbedaan struktur komunitas bakteri antar suhu (beta diversity) terbukti signifikan berdasarkan indeks Bray-Curtis, terutama antara kelompok suhu 29–33 °C dan 21–23 °C (F=3.5073, p<0.013). Di samping itu, bakteri endosimbion seperti Arsenophonus dan Spiroplasma terdeteksi terutama pada suhu 29–34 °C, sedangkan Rickettsia hanya ditemukan pada suhu 25–27 °C.
Secara khusus, Arsenophonus, yang dikenal sebagai endosimbion dengan kemampuan manipulasi reproduksi serangga, ditemukan dengan kelimpahan tinggi pada suhu tinggi. Keterkaitannya yang erat dengan Bacillus, Citrobacter, dan Massilia menunjukkan bahwa terdapat interaksi sinergis yang mungkin terbentuk dalam kondisi lingkungan tertentu. Studi sebelumnya pada serangga lain menunjukkan bahwa Arsenophonus cenderung menghilang pada suhu di atas 30 °C. Namun, dalam kasus Lu. longipalpis, justru ditemukan peningkatan pada suhu tersebut, menandakan potensi adaptasi khusus yang relevan dalam konteks perubahan iklim.
Korelasi negatif yang kuat antara Bacillus dan Pseudomonas (r = -0,84; p = 0,00007) mengindikasikan adanya kompetisi atau pergeseran dominasi dalam komunitas mikrobioma akibat fluktuasi suhu. Pseudomonas, yang dominan pada suhu lebih rendah, secara progresif tergantikan oleh Bacillus pada suhu tinggi. Interaksi lain seperti keterkaitan antara Pantoea dengan Brevibacterium dan Pseudonocardia pada 34 °C mengungkapkan adanya kecenderungan komunitas mikroba untuk merespons lingkungan ekstrem melalui asosiasi spesifik.
Lebih jauh, beberapa genus seperti Enterococcus, Carnobacterium, Staphylococcus, Morganella, dan Legionella teridentifikasi sebagai indikator suhu rendah, sementara Paracoccus, Salinicoccus, dan Ralstonia lebih sering ditemukan pada suhu ekstrem seperti 34 °C. Penemuan ini memberikan wawasan penting mengenai bagaimana suhu dapat berperan dalam memodulasi mikrobiota lalat pasir yang dapat mempengaruhi ketahanan terhadap patogen maupun insektisida.
Studi ini juga menyentuh potensi hubungan antara keberadaan bakteri dengan kemampuan lalat pasir untuk mengurai insektisida. Genus seperti Bacillus dan Pseudomonas telah diketahui memiliki enzim yang mampu mendegradasi senyawa piretroid seperti cypermethrin dan lambda-cyhalothrin. Dalam konteks ini, perubahan suhu bukan hanya memengaruhi resistensi lalat terhadap patogen, tetapi juga terhadap zat kimia insektisida melalui interaksi mikroba-inang.
Menariknya, bakteri seperti Serratia dan Staphylococcus, yang dikenal memicu respons imun pada vektor, menunjukkan kelimpahan berbeda tergantung pada suhu lingkungan. Selain itu, genus seperti Pantoea, yang memiliki potensi leishmanicidal, dan Brevibacterium, kandidat potensial untuk pendekatan paratransgenik, menunjukkan keterkaitan yang lebih kuat pada suhu tinggi. Ini membuka kemungkinan strategi pengendalian biologis melalui manipulasi komunitas mikroba, menyesuaikan dengan kondisi suhu aktual di lapangan.
Meskipun beberapa endosimbion penting seperti Wolbachia, Cardinium, dan Microsporidia tidak terdeteksi dalam spesimen yang dianalisis, keberadaan Asaia, Spiroplasma, dan Rickettsia menunjukkan bahwa mikroba ini berperan penting dalam dinamika vektor-parasit yang kompleks. Keberadaan Asaia hanya pada suhu di atas 27 °C menandakan adanya preferensi termal spesifik, yang dalam konteks vektor dapat memengaruhi transmisi parasit. Demikian pula, Spiroplasma yang menunjukkan potensi ekspresi fenotip pembunuh jantan (male-killing) juga lebih banyak ditemukan pada suhu tinggi.
Dengan latar belakang bahwa perubahan iklim global akan meningkatkan suhu rata-rata dan memperluas daerah distribusi vektor penyakit, hasil penelitian ini sangat relevan dalam memahami dinamika populasi vektor di masa depan. Kenaikan suhu tidak hanya memengaruhi kelangsungan hidup vektor tetapi juga dapat mengubah mikrobioma internal yang berperan penting dalam kompetensi vektor dan efektivitas strategi pengendalian.
Sumber:
Leave a Reply