Tanaman tomat (Solanum lycopersicum) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Indonesia dan berbagai negara tropis lainnya. Namun, produksi tomat sering kali menghadapi hambatan signifikan akibat meningkatnya salinitas tanah, terutama di daerah pesisir dan lahan marginal. Stres salinitas telah diketahui menurunkan viabilitas benih, memperlambat pertumbuhan vegetatif, serta menurunkan hasil buah secara drastis. Seiring dengan meningkatnya ancaman perubahan iklim dan intrusi air laut, kebutuhan akan pendekatan inovatif dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap salinitas semakin mendesak. Salah satu solusi yang menjanjikan dalam praktik pertanian berkelanjutan adalah teknik biopriming benih menggunakan mikroorganisme endofitik yang secara alami hidup di lingkungan ekstrem, seperti ekosistem mangrove.
Penelitian terkini yang dilakukan oleh Anwesha Chatterjee bersama tim peneliti lainnya, termasuk Proma Ghosh, Murali Sharaff, Prateek Madhab Bhattacharya, dan Harshata Pal, mengangkat potensi pemanfaatan bakteri endofitik yang berasal dari akar mangrove di wilayah Sundarban, India. Wilayah mangrove Sundarban dikenal memiliki tingkat salinitas yang tinggi, sehingga mikroorganisme yang hidup di dalam jaringan tanaman di wilayah ini diyakini telah beradaptasi terhadap tekanan lingkungan yang ekstrem. Berdasarkan hipotesis bahwa endofit akar tanaman mangrove mampu meningkatkan kekebalan alami tanaman inangnya terhadap salinitas, penelitian ini berupaya mengisolasi, mengkarakterisasi, dan memformulasikan konsorsium bakteri sebagai agen biopriming untuk tanaman non-inang, khususnya tomat.
Dari akar tanaman mangrove yang tumbuh di wilayah Sundarban, peneliti berhasil mengisolasi 31 strain bakteri endofitik. Isolat-isolat ini kemudian disaring berdasarkan kemampuan mereka dalam mendorong pertumbuhan tanaman (plant growth-promoting/PGP). Seleksi dilakukan melalui uji in-vitro yang mencakup parameter penting seperti produksi hormon pertumbuhan tanaman, khususnya indole-3-acetic acid (IAA), kemampuan melarutkan fosfat anorganik, produksi senyawa antimikroba, serta sintesis senyawa volatil yang berperan dalam komunikasi antar mikroba dan tanaman. Dari 31 isolat tersebut, tujuh strain menunjukkan aktivitas PGP yang signifikan. Aktivitas ini diuji kembali melalui aplikasi langsung pada tanaman model, yaitu tomat.
Selanjutnya, peneliti mengevaluasi kompatibilitas antar isolat melalui kultur bersama (co-culturing) untuk menghindari antagonisme mikroba dalam formulasi konsorsium. Hasil dari pengujian ini menunjukkan bahwa empat dari tujuh strain terpilih mampu hidup berdampingan tanpa menghambat pertumbuhan satu sama lain. Empat strain inilah yang kemudian diformulasikan menjadi konsorsium bakteri endofitik untuk keperluan biopriming benih tomat.
Biopriming dilakukan dengan merendam benih tomat ke dalam suspensi konsorsium bakteri selama periode tertentu sebelum penanaman. Efektivitas konsorsium tersebut diuji melalui percobaan pot dengan dua kelompok perlakuan: tomat yang diberi biopriming dan tomat yang tidak diberi perlakuan di bawah kondisi stres salinitas. Tingkat salinitas yang digunakan dalam percobaan adalah 100 mM NaCl, merepresentasikan kondisi tanah asin yang sering ditemukan di lahan pesisir.
Hasil dari percobaan menunjukkan bahwa tomat yang dibenihkan dengan perlakuan biopriming memiliki pertumbuhan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol. Tinggi tanaman pada kelompok perlakuan mencapai rata-rata 43 cm, sedangkan kelompok tanpa perlakuan hanya mencapai sekitar 26 cm. Dari sisi hasil produksi, tanaman bioprimed menghasilkan rata-rata 6,8 kg buah per tanaman, sedangkan tanaman kontrol hanya menghasilkan sekitar 4,7 kg. Peningkatan hasil ini tidak hanya mencerminkan peran mikroba dalam mendukung pertumbuhan vegetatif, tetapi juga menunjukkan peningkatan toleransi terhadap tekanan salinitas yang secara umum menurunkan efisiensi fisiologis tanaman.
Pengamatan mikroskopis menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) menunjukkan bahwa bakteri konsorsium berhasil mengkolonisasi jaringan akar tomat, membentuk struktur komunitas yang stabil di zona rizosfer. Keberadaan bakteri ini memperbaiki kemampuan akar dalam menyerap nutrien dan air, serta berkontribusi terhadap homeostasis ion dalam jaringan tanaman. Salah satu mekanisme penting yang ditemukan adalah produksi eksopolisakarida (exopolysaccharide/EPS) oleh bakteri, yang dapat mengikat ion natrium (Na⁺) di tanah dan mengurangi akumulasi ion tersebut di dalam jaringan tanaman. Selain itu, senyawa volatil dan fitohormon yang diproduksi bakteri diyakini membantu mengaktifkan jalur sinyal stres tanaman yang meningkatkan ekspresi gen pertahanan.
Sumber:
Leave a Reply