Precision medicine dalam bidang reumatologi menunjukkan potensi nyata untuk merevolusi cara kita mendiagnosis dan mengelola penyakit rematik melalui pemanfaatan biomarker (indikator biologis). Uraian ini menyoroti bahwa dengan mengenali biomarker sebagai alat ukur proses biologis, baik autoimunitas maupun inflamasi, pendekatan terapi dapat dipersonalisasi sehingga diagnosis menjadi lebih cepat, monitoring menjadi lebih tajam, dan keputusan terapi lebih tepat sasaran. Mata rantai ini penting karena penyakit seperti rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus, psoriatic arthritis, dan systemic sclerosis cenderung bervariasi pada tiap pasien dan selama perjalanan penyakitnya memiliki respons yang sulit diprediksi.
Mengawali uraian, biomarker—didefinisikan sebagai indikator terukur dari kondisi atau proses biologis—telah berkembang dari sekadar alat diagnosis menjadi faktor kunci dalam staging penyakit, prognosa, hingga memprediksi respons terapi. Dalam konteks rheumatoid arthritis misalnya, penanda inflamasi seperti tingkat sedimentasi eritrosit (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR) dan protein C‑reaktif (C‑Reactive Protein/CRP) digunakan secara rutin untuk memonitor aktivitas penyakit. Selain itu, autoantibodi seperti faktor reumatoid (Rheumatoid Factor/RF) dan antibodi anti‑protein tersitrulinasi (Anti‑CCP) membantu dalam menetapkan diagnosis dan memperkirakan perkembangan penyakit.
Pada tahap berikutnya, artikel menyoroti bahwa strategi “precision medicine” dalam reumatologi tidak hanya terbatas pada marker inflamasi dan autoantibodi, tetapi juga mencakup biomarker genetik seperti HLA‑B27 yang relevan dengan ankylosing spondylitis dan autoantibodi spesifik yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi phenotipe penyakit. Selain itu, microRNA (miRNA) juga sedang dibidik sebagai pendukung diagnosis dan monitoring penyakit seperti systemic sclerosis dan SLE, dengan modulasi ekspresi yang mencerminkan aktivitas penyakit.
Kemajuan teknologi omika—genomik, proteomik, epigenomik dan transcriptomik—telah mempercepat identifikasi biomarker baru dengan potensi diagnostik dan prediktif yang lebih tinggi. Di sisi lain, penggabungan data klinis, demografik, dan biomarker dalam analitik canggih dan machine learning memungkinkan stratifikasi pasien menjadi kelompok‐kelompok homogen berdasarkan risiko atau respons terhadap terapi, sehingga meminimalkan trial‑and‑error dalam memilih terapi.
Namun demikian, penerapan biomarker dalam praktik klinis masih dihadapkan pada tantangan penting. Isu standardisasi metode pengumpulan dan interpretasi data harus segera diatasi agar informasi biomarker dapat konsisten dan reliabel antar laboratorium. Selain itu, validasi klinis masih terbatas, sehingga belum semua biomarker dapat digunakan secara luas sebagai alat pengambilan keputusan. Pendekatan berbasis machine learning juga menghadapi kendala mulai dari ketersediaan data besar yang berkualitas, kebutuhan akan infrastruktur komputasi, hingga integrasi antara data medis dan analitik.
Artikel ini menekankan pentingnya penggunaan biomarker sebagai surrogate endpoint dalam klinik dan uji klinis—menjadi parameter yang merepresentasikan outcome klinis namun dapat diukur secara objektif dan lebih cepat dalam penelitian . Misalnya, skor multi‑biomarker aktivitas penyakit (Multi‑Biomarker Disease Activity score/MBDA) memberikan gambaran komprehensif mengenai aktivitas inflamasi pada rheumatoid arthritis, membimbing dokter dalam menyesuaikan dosis terapi biologis atau disease‑modifying antirheumatic drug (DMARD).
Dikombinasikan dengan autoantibodi baru seperti anti‑carbamylated protein (anti‑CarP) dan anti‑mitokondria (AMA), biomarker ini dapat memprediksi subtipe penyakit yang cenderung agresif atau risiko perkembangan kerusakan sendi, sehingga intervensi dini bisa dilakukan. Ini menunjukkan pergeseran paradigma dari reaktif ke proaktif dalam penanganan penyakit rematik.
Lebih jauh lagi, artikel menyatakan bahwa precision medicine di reumatologi memerlukan kolaborasi multidisiplin antara reumatolog, ahli patologi molekuler, bioinformatika, dan data scientist, untuk memastikan data biomarker dapat diproses, diklasifikasi, dan diinterpretasi secara klinis. Kolaborasi ini memungkinkan skema treat‑to‑target yang dipersonalisasi — yaitu strategi yang menargetkan remisi atau low disease activity sebagai tujuan akhir terapi berdasarkan phenotype pasien.
Sebagai kesimpulan, pemanfaatan biomarker di reumatologi dalam kerangka precision medicine memberikan janji besar untuk meningkatkan kecepatan diagnosis, efikasi terapi dan kualitas hidup pasien. Dengan pemetaan yang lebih tajam terhadap profil imun dan molekuler, serta dukungan analitik modern, model klinis yang resilien dan adaptif dapat diterapkan secara lebih luas. Meski tantangannya substansial dalam hal validasi klinis dan standardisasi, pendekatan ini menjadi alur masa depan pengobatan individual yang canggih—menggeser paradigma dari standar generik menuju terapi yang presisi, efisien, dan lebih manusiawi.
Sumber:
Leave a Reply