Pembahasan mengenai potensi teknologi Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR) dalam upaya pelestarian Badak Jawa menjadi semakin relevan ketika populasi spesies ini berada pada titik kritis. Dengan jumlah individu yang sangat sedikit dan tersebar pada habitat yang semakin menyempit, ancaman genetik seperti penurunan keragaman deoksiribonukleat (DNA) dan meningkatnya risiko penyakit menjadi faktor utama yang mempercepat kerentanan. Dalam kondisi demikian, dunia konservasi mulai mempertanyakan apakah penyuntingan gen berbasis CRISPR mampu memberikan harapan baru bagi spesies yang hampir punah ini. Diskusi mengenai “CRISPR,” “pelestarian Badak Jawa,” dan “edit gen” tidak hanya mengedepankan inovasi teknologi, tetapi juga menyentuh aspek etika, ekologi, dan kelayakan ilmiah.
Teknologi CRISPR pada dasarnya merupakan sistem molekuler yang memungkinkan ilmuwan memodifikasi urutan DNA dengan presisi lebih tinggi dibandingkan metode rekayasa genetika generasi sebelumnya. Prinsip kerjanya bertumpu pada kemampuan molekul pemandu untuk mengenali segmen target dalam genom, kemudian memicu aktivitas pemotongan dan perbaikan yang mengarah pada perubahan tertentu (Ben-Nun et al., 2015). Dalam konteks Badak Jawa, minat terhadap CRISPR muncul karena populasi yang sangat kecil cenderung mengalami inbreeding depression, yaitu akumulasi mutasi merugikan yang menurunkan kesuburan, ketahanan tubuh, serta kemampuan beradaptasi. Dengan memetakan mutasi yang berpotensi membahayakan, para peneliti berharap suatu saat dapat mengembangkan pendekatan yang mampu memperbaiki kerusakan genetik secara terarah.
Meskipun demikian, Biasetti et al. (2020) berpendapat penggunaan CRISPR dalam konservasi tidak berarti bahwa penyuntingan gen dapat dilakukan secara langsung pada individu liar. Tantangan teknis dan biologis pada mamalia besar seperti badak sangat kompleks. Pengumpulan sampel, pemahaman genom secara menyeluruh, serta pemanfaatan sel punca atau induced pluripotent stem cell (iPSC) menjadi aspek krusial yang memerlukan penelitian bertahap dan prosedur etis yang ketat. Saat ini, aplikasi CRISPR yang lebih realistis dalam konservasi berada pada tahap analitik, yakni membantu ilmuwan mengidentifikasi gen yang mengalami degradasi atau hilang pada populasi kecil. Dengan kata lain, CRISPR lebih banyak berfungsi sebagai alat pemetaan genetik ketimbang solusi penyuntingan langsung.
Pendekatan analitik tersebut sangat penting bagi Badak Jawa, mengingat tekanan lingkungan dan kondisi populasi tidak memungkinkan eksperimen invasif. Dengan menggunakan kerangka kerja CRISPR sebagai alat pemahaman genom, ilmuwan dapat memetakan variasi genetik yang tersisa dan menilai seberapa besar risiko kelangsungan hidup populasi berdasarkan perubahan pada bagian tertentu dari genom. Informasi ini dapat mendukung keputusan konservasi yang lebih terarah, misalnya menentukan pasangan yang paling tepat untuk mengurangi tumpang-tindih mutasi merugikan, memilih area habitat yang paling mendukung stamina biologis populasi, atau melakukan pemantauan kesehatan berbasis biomarker genetik (Comizzoli et al., 2019).
Selain itu, perkembangan teknologi reproduksi berbantuan seperti fertilisasi in vitro dan pengembangan embrio melalui kultur sel memberikan peluang jangka panjang yang dapat dikaitkan dengan CRISPR. Meskipun masih berada pada ranah teoretis, kemungkinan untuk mempelajari kembali genetik spesies dari sampel lama atau jaringan beku membuka potensi rekonstruksi informasi biologis yang dapat membantu pemahaman evolusi spesies. Dalam konteks Badak Jawa, potensi ini sangat berharga karena jumlah individu yang sedikit membuat setiap fragmen informasi genetik memiliki nilai luar biasa dalam menyusun strategi pelestarian.
Pertanyaan mengenai apakah edit gen dapat menyelamatkan spesies hampir punah tidak dapat dijawab secara sederhana. Teknologi ini menjanjikan pemahaman mendalam terhadap kerusakan genetik, namun penyuntingan genom sebagai solusi langsung untuk badak masih membutuhkan penelitian jauh lebih menyeluruh. Risiko ekologis, potensi ketidakseimbangan biologis, serta pertimbangan etika mengenai integritas spesies harus dipertimbangkan secara hati-hati. Upaya pelestarian tetap membutuhkan perlindungan habitat, pengawasan populasi, dan penanganan perburuan sebagai prioritas utama sebelum intervensi molekuler dapat dipertimbangkan.
Pada akhirnya, CRISPR lebih tepat dipandang sebagai alat pendukung yang memperkaya pengetahuan genetika konservasi, bukan sebagai solusi instan yang mengubah kondisi populasi dengan cepat. Dengan memanfaatkan teknologi ini secara hati-hati, para peneliti dapat memahami dasar molekuler kerentanan Badak Jawa dan merancang strategi konservasi yang lebih berbasis data. Integrasi antara inovasi biologi molekuler dan upaya pelestarian lapangan memberikan peluang baru bagi keberlanjutan spesies ikonik Nusantara ini, meskipun penyuntingan gen itu sendiri bukanlah solusi tunggal yang menentukan masa depan mereka.
Sumber:

Leave a Reply