Pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence dalam menilai risiko mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 pada populasi Asia Tenggara menghadirkan pendekatan baru dalam skrining kanker payudara dan ovarium secara presisi. Mutasi pada gen tersebut meningkatkan risiko terjadinya kanker secara signifikan, namun distribusi alel dan pola mutasi berbeda-beda antarpopulasi, sehingga model prediksi yang dikembangkan untuk populasi Barat sering kali kurang akurat jika diterapkan di Asia Tenggara (Domchek danWeber, 2006). Dengan menggabungkan data sekuens genetik, riwayat keluarga, dan faktor lingkungan, algoritma AI mampu menganalisis pola kompleks yang sulit ditangkap oleh metode statistik konvensional.
Pendekatan ini memanfaatkan teknik machine learning dan deep learning untuk mengenali korelasi antara varian genetik tertentu dan insidensi kanker di populasi lokal. Model AI dilatih dengan data genomik dari ribuan individu, termasuk variasi single nucleotide polymorphism dan mutasi patogenik BRCA1/2 yang telah terverifikasi secara klinis. Algoritma kemudian dapat memprediksi risiko individu berdasarkan kombinasi faktor genetik dan non-genetik, sehingga memungkinkan identifikasi kelompok berisiko tinggi yang memerlukan skrining lebih intensif atau intervensi preventif (Hall, 2006). Keunggulan AI terletak pada kemampuannya memproses dataset besar yang heterogen, mengatasi ketidaklengkapan data, serta memperhitungkan interaksi kompleks antarvarian genetik yang sulit dianalisis secara manual.
Selain aspek prediksi risiko, AI juga membantu dalam interpretasi varian dengan variant of uncertain significance (VUS), yang sering menjadi tantangan dalam konseling genetik. Dengan memanfaatkan algoritma pembelajaran berbasis pola struktural dan konservasi evolusioner, model dapat menilai kemungkinan patogenisitas suatu varian pada populasi Asia Tenggara. Hal ini sangat penting karena frekuensi alel dan latar belakang genetik berbeda dari populasi Eropa atau Amerika, sehingga pendekatan berbasis lokal meningkatkan akurasi diagnostik dan relevansi klinis (Vinodkumar et al., 2007).
Pemanfaatan AI dalam konteks ini juga memungkinkan integrasi data multi-modal, termasuk catatan klinis elektronik, faktor gaya hidup, dan paparan lingkungan, sehingga prediksi risiko menjadi lebih komprehensif. Misalnya, kombinasi data genetik dengan indeks massa tubuh, konsumsi alkohol, atau paparan radiasi memungkinkan algoritma menyesuaikan skor risiko individu secara lebih tepat. Strategi ini mendukung konsep precision medicine, di mana keputusan skrining, pencegahan, dan terapi dapat disesuaikan dengan profil risiko masing-masing pasien (Li et al., 2007).
Meski menjanjikan, penggunaan AI untuk menilai risiko mutasi BRCA1/2 tetap menghadapi tantangan, termasuk kualitas dan representativitas data genomik lokal, isu privasi dan keamanan data, serta kebutuhan validasi klinis untuk memastikan akurasi model. Pengembangan basis data genom populasi Asia Tenggara yang lebih luas dan representatif menjadi kunci agar algoritma AI dapat memberikan prediksi yang dapat diandalkan dan diterima secara klinis (Antoniou et al., 2004).
Secara keseluruhan, integrasi AI dalam analisis mutasi BRCA1/2 menandai langkah maju penting bagi skrining kanker presisi di Asia Tenggara. Pendekatan ini menggabungkan kecanggihan bioinformatika, kemampuan pembelajaran mesin, dan data lokal untuk meningkatkan deteksi dini, memungkinkan intervensi preventif, dan memperkuat strategi kesehatan publik berbasis bukti di kawasan dengan keragaman genetik tinggi.
Sumber:

Leave a Reply