Proyek deforestasi yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia untuk mengkonversi 20 juta hektar hutan menjadi lahan pangan dan energi menimbulkan dampak ekologis yang mendalam dan kompleks. Hutan tropis Indonesia, yang merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di dunia, memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan iklim global. Konversi lahan hutan tidak hanya akan melepaskan emisi karbon yang terperangkap dalam biomassa dan tanah, tetapi juga mengancam keanekaragaman hayati yang menjadi fondasi bagi berbagai fungsi ekosistem. Hilangnya habitat alami akibat deforestasi berpotensi menyebabkan kepunahan spesies, termasuk spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain, seperti orangutan dan harimau Sumatera.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Trina Ekawati Tallei dari Universitas Sam Ratulangi, Manado yang merupakan anggota dari MABBI “Pembukaan 20 juta hektare hutan berpotensi menyebabkan kepunahan spesies endemik, ketidakseimbangan ekosistem, peningkatan emisi karbon, dan penurunan kapasitas hutan sebagai penyerap karbon, yang mempercepat perubahan iklim. Selain itu, risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor meningkat, sementara kualitas air menurun dan kekeringan diperparah. Konflik sosial juga dapat terjadi akibat penggusuran masyarakat adat dan kriminalisasi terkait sengketa lahan. Kehilangan jasa ekosistem, termasuk potensi obat-obatan dan ekowisata, serta dampak ekonomi jangka panjang, menambah daftar kerugian yang signifikan dari rencana ini.”
Dampak negatif dari proyek ini juga mencakup kerusakan pada ekosistem yang mendukung bioinspirasi, bioprospeksi, dan biokontrol organisme secara umum termasuk agen hama dan penyakit. Bioinspirasi, yang mengacu pada penerapan prinsip-prinsip alam dalam desain dan teknologi, sangat bergantung pada keberadaan keanekaragaman hayati. Kehilangan spesies dapat mengurangi potensi inovasi yang dapat diambil dari alam, seperti pengembangan obat-obatan baru dan teknologi ramah lingkungan. Bioprospeksi, yang merupakan pencarian sumber daya genetik dari alam untuk pengembangan produk baru, juga terancam oleh hilangnya habitat. Dengan berkurangnya keanekaragaman hayati, peluang untuk menemukan senyawa baru yang dapat digunakan dalam pengobatan atau pertanian menjadi semakin terbatas.
Lebih jauh lagi, biokontrol agen hama dan penyakit yang memanfaatkan organisme alami untuk mengendalikan hama akan terpengaruh oleh penurunan populasi spesies yang berperan sebagai predator alami. Deforestasi dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem, yang pada gilirannya dapat meningkatkan serangan hama dan penyakit pada tanaman. Hal ini berpotensi mengarah pada penggunaan pestisida kimia yang lebih besar, yang dapat merusak lingkungan lebih lanjut.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting untuk mencari solusi alternatif yang berkelanjutan. Pendekatan yang seimbang antara hutan dan pertanian dapat dicapai melalui pemanfaatan teknologi modern, seperti bioinformatika dan bioteknologi. Pendekatan ilmu bioinformatika dan bioteknologi dapat diterapkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian secara ekstensif, tanpa harus mengutamakan perluasan lahan. Kedua ilmu modern yang sedang berkembang ini juga merupakan potensi bagi Indonesia untuk dikembangkan. Penerapannya bisa untuk karakterisasi tanaman pada tingkat molekuler dengan bioinformatika yang akan berguna untuk mengembangkan varietas unggul yang tahan terhadap hama dan penyakit serta adaptif terhadap perubahan iklim. Penelitian pada genom tanaman, misalnya, dapat menghasilkan varietas padi yang lebih efisien dalam penggunaan air dan nutrisi, sehingga mengurangi tekanan pada lahan hutan.
Berpedoman pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 2 (Tanpa Kelaparan) dan poin 13 (Penanganan Perubahan Iklim) oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), pemerintah dapat mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dalam pengelolaan sumber daya alam. Dengan memanfaatkan teknologi biologi molekuler dan bioinformatika, identifikasi dan pelestarian spesies langka dapat dilakukan, sekaligus meningkatkan efisiensi produksi bioetanol dari tanaman seperti aren. Solusi ini tidak hanya mengurangi tekanan terhadap hutan, tetapi juga mendukung ekonomi lokal dan ketahanan pangan.
Lebih jauh lagi, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya memberikan kerangka hukum yang penting untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip konservasi dalam setiap kebijakan pembangunan, pemerintah dapat memastikan bahwa upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi tidak mengorbankan keberlanjutan ekosistem.
Dengan demikian, penting untuk mengedepankan pendekatan yang berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan energi, tanpa merusak ekosistem yang ada. Penelitian ilmiah dan teknologi canggih harus menjadi pilar utama dalam upaya ini, sejalan dengan visi SDGs untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. Melalui kolaborasi antara pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat, kita dapat memastikan bahwa keberlanjutan ekosistem tetap terjaga, sambil memenuhi kebutuhan manusia yang terus berkembang.
Sumber:
Proyek 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi: Legalisasi Deforestasi Picu Kiamat Ekologi
Walhi soal Menhut Ubah 20 Juta Ha Hutan untuk Pangan-Energi: Kiamat
Poin-poin Wacana Pemerintah Ubah 20 Juta Ha Hutan Jadi Lahan Pangan
MENELUSURI DAMPAK DEFORESTASI SKALA BESAR PADA EKOSISTEM DAN KEBERLANJUTAN
Leave a Reply