Era Anthropocene, yang ditandai dengan dominasi aktivitas manusia terhadap lingkungan, telah membawa dampak signifikan terhadap distribusi spesies dan ekosistem terestrial. Dalam konteks ini, model distribusi spesies (species distribution models/SDMs) menjadi alat penting untuk memahami hubungan antara organisme dan lingkungannya, serta memproyeksikan dampak perubahan global. Keberhasilan pendekatan ini sangat bergantung pada kualitas data lingkungan yang digunakan, yang kini semakin didukung oleh teknologi penginderaan jauh seperti Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), dan Light Detection and Ranging (LiDAR). Data ini juga berkontribusi besar dalam pemantauan keanekaragaman hayati sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs), khususnya SDG 15 yang berfokus pada perlindungan kehidupan darat.
Penggunaan teknologi penginderaan jauh telah membuka peluang besar dalam meningkatkan akurasi dan efisiensi SDMs. Sebagai contoh, MODIS yang terpasang pada satelit TERRA dan AQUA, menyediakan data spatiotemporal tentang suhu permukaan, vegetasi, dan variabel iklim lainnya. Data ini memungkinkan pengukuran perubahan lingkungan yang berpengaruh pada distribusi spesies secara lebih kontinu dan terperinci. Dalam studi distribusi spesies, suhu permukaan tanah yang dihasilkan MODIS memberikan informasi penting tentang mikrohabitat, terutama untuk spesies yang sensitif terhadap perubahan suhu ekstrem. Ketepatan data ini membantu mengidentifikasi area yang menjadi refugia bagi spesies tertentu ketika terjadi perubahan iklim yang cepat.
Selain itu, data curah hujan dari TRMM telah memainkan peran kunci dalam memetakan distribusi spesies di kawasan yang dipengaruhi oleh pola curah hujan, seperti hutan tropis. TRMM mampu mendeteksi intensitas dan distribusi hujan pada skala resolusi yang lebih tinggi dibandingkan data iklim interpolasi tradisional. Misalnya, di wilayah Andes, data curah hujan TRMM telah digunakan untuk memperkirakan dampak variabilitas curah hujan terhadap pola distribusi vegetasi. Penggunaan data ini membantu mengidentifikasi perubahan dalam habitat yang disebabkan oleh anomali curah hujan, yang sering kali menjadi faktor utama dalam migrasi spesies dan pergeseran ekosistem. Kemampuan TRMM untuk menangkap pola hujan yang terperinci menjadikannya alat yang sangat penting dalam mendukung pemantauan keanekaragaman hayati di era Anthropocene, ketika pola cuaca ekstrem menjadi semakin umum.
Keberhasilan teknologi penginderaan jauh tidak hanya terbatas pada data iklim, tetapi juga pada pengukuran struktur vegetasi melalui LiDAR. Teknologi ini memungkinkan pembuatan model tiga dimensi dari kanopi hutan, yang sangat penting untuk memahami dinamika habitat. Dengan kemampuan mendeteksi fitur topografi kecil seperti lembah, punggung bukit, dan depresi kecil, LiDAR membantu menjelaskan distribusi spesies yang bergantung pada fitur mikrohabitat. Sebagai contoh, dalam ekosistem pegunungan, LiDAR dapat mengidentifikasi area dengan pola drainase udara dingin yang menjadi habitat penting bagi spesies yang membutuhkan kondisi mikroklimatik tertentu. Selain itu, LiDAR memungkinkan pengukuran kerapatan vegetasi dan tinggi kanopi, yang merupakan indikator kunci kesehatan ekosistem terestrial.
Keberadaan teknologi seperti MODIS, TRMM, dan LiDAR tidak hanya memberikan data yang lebih akurat untuk SDMs tetapi juga berkontribusi pada upaya pemantauan keanekaragaman hayati global. Hal ini menjadi sangat relevan dalam kerangka SDG 15, yang bertujuan melindungi, merestorasi, dan mendorong pemanfaatan berkelanjutan ekosistem terestrial, termasuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati. Sebagai bagian dari SDG 15, indikator seperti “luas hutan sebagai proporsi dari total lahan” dan “indeks tutupan hijau pegunungan” sering kali memanfaatkan data dari penginderaan jauh. Misalnya, data MODIS tentang produktivitas vegetasi dapat digunakan untuk memantau perubahan tutupan hutan akibat deforestasi atau kebakaran hutan, sedangkan data LiDAR dapat memberikan informasi detail tentang perubahan struktur hutan yang mungkin tidak terdeteksi oleh teknologi lain.
Namun, meskipun kontribusi teknologi penginderaan jauh sangat signifikan, tantangan tetap ada. Salah satu tantangan utama adalah kesenjangan antara resolusi data penginderaan jauh dan kebutuhan ekologis spesifik. Sebagai contoh, meskipun data TRMM memberikan gambaran pola curah hujan pada skala regional, resolusinya sering kali tidak mencukupi untuk menggambarkan proses hidrologi lokal seperti efek orografis yang berperan penting dalam distribusi spesies di pegunungan. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan integrasi data dari berbagai sumber, termasuk penginderaan jauh, pengukuran lapangan, dan model prediktif. Penggabungan data-data ini dapat memberikan pemahaman yang lebih holistik tentang bagaimana spesies dan ekosistem merespons perubahan lingkungan di berbagai skala.
Lebih jauh lagi, di era Anthropocene, pemantauan keanekaragaman hayati harus mampu menangkap dinamika jangka panjang, termasuk keterlambatan respons ekosistem terhadap tekanan lingkungan. Teknologi seperti MODIS dan TRMM menyediakan data temporal yang mencakup beberapa dekade, yang dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan bertahap dalam pola distribusi spesies. Sebagai contoh, data MODIS tentang suhu permukaan dapat digunakan untuk melacak pergeseran habitat spesies akibat perubahan iklim selama dua dekade terakhir. Demikian pula, data TRMM dapat membantu mengidentifikasi pola migrasi spesies yang berkaitan dengan anomali curah hujan jangka panjang. Dengan memahami keterlambatan respons ini, pengelolaan ekosistem dapat dirancang untuk memanfaatkan “jendela peluang” guna memitigasi dampak negatif perubahan lingkungan.
Di sisi lain, keberlanjutan ekosistem terestrial juga sangat bergantung pada kemampuan kita untuk memahami interaksi kompleks antara faktor lingkungan dan spesies. Teknologi seperti LiDAR membuka peluang baru dalam memahami dinamika struktur ekosistem, termasuk hubungan antara kerapatan vegetasi, keanekaragaman spesies, dan layanan ekosistem. Misalnya, dalam konteks perubahan penggunaan lahan, LiDAR dapat digunakan untuk memantau dampak fragmentasi habitat terhadap spesies yang membutuhkan koridor ekologi untuk migrasi. Data ini menjadi sangat penting dalam desain kawasan konservasi yang lebih efektif, yang tidak hanya mempertimbangkan distribusi spesies saat ini tetapi juga proyeksi distribusi di masa depan.
Integrasi teknologi penginderaan jauh ke dalam SDMs juga menawarkan peluang besar untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Dalam kerangka SDG 15, data penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan konservasi dan mengidentifikasi prioritas tindakan. Sebagai contoh, penggunaan data MODIS untuk memantau tutupan hutan dapat memberikan informasi real-time tentang keberhasilan inisiatif reforestasi, sementara data LiDAR dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan struktur hutan akibat pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Teknologi ini juga memungkinkan pelacakan dampak kebijakan pada skala lokal hingga global, yang sangat penting dalam konteks perubahan iklim dan tekanan antropogenik.
Sumber:
Leave a Reply