Invasi spesies tanaman asing (Invasive Plant Species/IPS) telah menjadi ancaman utama terhadap ekosistem alami dan keanekaragaman hayati di berbagai wilayah dunia. Spesies invasif dapat mengganggu fungsi ekosistem, mengurangi keanekaragaman spesies lokal, serta berkontribusi terhadap perubahan struktur dan dinamika komunitas tanaman. Salah satu faktor utama yang mendorong penyebaran IPS adalah perubahan iklim, yang mengubah pola distribusi habitat dan meningkatkan kesesuaian lingkungan bagi spesies non-asli untuk berkembang di habitat baru.
Dengan meningkatnya suhu global dan perubahan pola curah hujan akibat perubahan iklim, distribusi IPS menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat meningkatkan potensi habitat yang cocok bagi spesies invasif di banyak wilayah, yang pada gilirannya mempercepat laju penyebaran mereka. Untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap invasi tanaman, diperlukan metode pemodelan yang mampu mengintegrasikan faktor lingkungan secara komprehensif.
Model distribusi spesies (Species Distribution Model/SDM) telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi habitat potensial bagi spesies tanaman invasif, baik dalam kondisi iklim saat ini maupun masa depan. SDM memungkinkan pemetaan dan prediksi distribusi spesies dengan menghubungkan data keberadaan spesies dengan variabel lingkungan yang relevan. Dengan semakin berkembangnya teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan pembelajaran mesin, metode pemodelan berbasis data menjadi semakin efektif dalam memahami pola distribusi spesies invasif.
Dalam penelitian ini, digunakan dua pendekatan pembelajaran mesin utama, yaitu Boosted Regression Trees (BRT) dan Support Vector Machines (SVM) untuk memprediksi distribusi habitat potensial bagi 46 spesies tanaman invasif di Jerman. Model ini mengintegrasikan 18 variabel lingkungan, termasuk tipe tanah, ketinggian, penggunaan lahan, infrastruktur transportasi, serta faktor iklim seperti suhu dan curah hujan. Selain itu, pendekatan penginderaan jauh digunakan untuk mengidentifikasi tipe habitat yang dapat mempengaruhi kesesuaian habitat bagi spesies invasif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik metode BRT maupun SVM memiliki akurasi prediksi yang baik dalam memodelkan distribusi IPS. Rata-rata Area Under the Curve (AUC) untuk BRT adalah 0.861 dengan Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 0.225, sedangkan model SVM memiliki AUC rata-rata 0.804 dengan RMSE 0.285. Hal ini menunjukkan bahwa BRT umumnya lebih unggul dibandingkan SVM dalam mendeteksi pola distribusi spesies berdasarkan faktor lingkungan.
Performa tinggi dari BRT dapat dikaitkan dengan kemampuannya dalam menangkap hubungan non-linear dan efek interaksi antara variabel lingkungan. Sementara itu, SVM, meskipun masih menghasilkan prediksi yang baik, cenderung memiliki akurasi yang lebih rendah dibandingkan BRT dalam mendeteksi variasi habitat spesies invasif. Model BRT lebih efektif dalam mengintegrasikan berbagai faktor lingkungan secara bersamaan, yang penting dalam analisis distribusi spesies invasif dengan faktor pengendali yang kompleks.
Analisis model menunjukkan bahwa mayoritas spesies invasif belum menempati seluruh habitat potensial mereka di Jerman. Dengan mempertimbangkan skenario perubahan iklim hingga tahun 2080, diprediksi bahwa sebagian besar spesies akan mengalami perluasan habitat yang sesuai. Peningkatan suhu dan perubahan pola curah hujan menyebabkan peningkatan ketersediaan habitat yang cocok bagi spesies invasif, terutama di daerah dengan infrastruktur transportasi yang baik dan di sepanjang kawasan sungai.
Hasil model menunjukkan bahwa beberapa spesies seperti Paulownia tomentosa, Miscanthus sinensis, dan Sorghum halepense akan mengalami ekspansi habitat yang signifikan seiring dengan meningkatnya suhu global. Sebaliknya, beberapa spesies seperti Fallopia japonica dan Heracleum mantegazzianum diprediksi mengalami penurunan habitat yang sesuai. Perubahan ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar spesies mendapatkan keuntungan dari perubahan iklim, ada juga beberapa spesies yang mengalami pembatasan habitat akibat interaksi kompleks antara faktor lingkungan dan kompetisi dengan spesies lain.
Salah satu inovasi dalam penelitian ini adalah penggunaan data penginderaan jauh untuk mengidentifikasi tipe habitat dan mengintegrasikannya dalam model distribusi spesies. Klasifikasi tipe habitat berbasis data MODIS memungkinkan pemetaan habitat alami secara luas dan meningkatkan resolusi spasial dalam model distribusi spesies.
Namun, hasil analisis menunjukkan bahwa variabel tipe habitat memiliki kontribusi yang lebih rendah dibandingkan faktor iklim dan tanah dalam menjelaskan distribusi spesies invasif. Hal ini dapat disebabkan oleh keterbatasan resolusi spasial data MODIS dalam menangkap variasi komunitas vegetasi pada skala lokal. Untuk meningkatkan akurasi prediksi, kombinasi data penginderaan jauh dengan survei lapangan serta penggunaan citra dengan resolusi lebih tinggi seperti Sentinel-2 dapat menjadi pendekatan yang lebih efektif.
Selain perubahan iklim, faktor lingkungan lain seperti tipe tanah dan infrastruktur transportasi memainkan peran penting dalam menentukan distribusi spesies invasif. Tipe tanah mempengaruhi retensi air dan ketersediaan nutrisi, yang menjadi faktor kunci dalam keberhasilan kolonisasi spesies invasif. Infrastruktur transportasi seperti jalan, jalur kereta api, dan sungai juga berfungsi sebagai koridor penyebaran spesies invasif, memungkinkan mereka untuk menyebar ke habitat baru dengan lebih cepat.
Penelitian ini menegaskan bahwa jalur transportasi manusia merupakan faktor utama dalam penyebaran spesies invasif, yang mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa spesies invasif sering ditemukan di daerah dengan aktivitas manusia yang tinggi. Oleh karena itu, strategi pengelolaan spesies invasif perlu mempertimbangkan pengawasan yang lebih ketat di sepanjang jalur transportasi dan kawasan industri.
Studi ini menunjukkan bahwa perubahan iklim berpotensi mempercepat penyebaran spesies tanaman invasif di Jerman, dengan sebagian besar spesies mengalami perluasan habitat yang sesuai. Metode pembelajaran mesin seperti BRT dan SVM terbukti efektif dalam memprediksi distribusi spesies invasif, dengan BRT menunjukkan performa yang lebih unggul. Penggunaan data penginderaan jauh untuk klasifikasi habitat memberikan tambahan informasi yang berguna, meskipun masih memiliki keterbatasan dalam menangkap interaksi biotik.
Untuk mengendalikan dampak spesies invasif, diperlukan strategi mitigasi yang lebih komprehensif, termasuk pemantauan berbasis penginderaan jauh, pengelolaan habitat, serta regulasi yang lebih ketat terhadap perdagangan dan transportasi spesies invasif. Studi ini juga menggarisbawahi pentingnya integrasi metode pemodelan dengan data lingkungan yang lebih akurat untuk meningkatkan efektivitas strategi konservasi di masa depan.
Sumber:
Sittaro, F., Hutengs, C. and Vohland, M., 2023. Which factors determine the invasion of plant species? Machine learning based habitat modelling integrating environmental factors and climate scenarios. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 116, p.103158.
Leave a Reply