Kelembaban daun merupakan faktor kritis dalam epidemi penyakit tanaman, terutama dalam ekosistem yang mengalami gradien iklim. Studi ini membandingkan efektivitas model empiris dengan metode pembelajaran mesin untuk memperkirakan durasi kelembaban daun di lanskap liar. Menggunakan data meteorologi dari berbagai stasiun cuaca serta pencitraan drone, penelitian ini mengevaluasi bagaimana kelembaban daun berkorelasi dengan kondisi mikroklimat serta pola penyebaran penyakit tanaman. Hasil menunjukkan bahwa model empiris berbasis depresi titik embun dan kelembaban relatif memiliki kinerja yang sebanding dengan model pembelajaran mesin, menekankan pentingnya pendekatan yang lebih sederhana dalam pemantauan kelembaban daun.
Kelembaban daun merupakan parameter kunci dalam epidemiologi penyakit tanaman, berperan dalam infeksi patogen serta produksi dan penyebaran spora jamur. Dalam praktik pengelolaan penyakit tanaman, pemantauan kelembaban daun sangat penting untuk mengoptimalkan strategi pengendalian penyakit, baik secara kimiawi maupun biologis. Namun, pengukuran langsung kelembaban daun di lapangan sering kali sulit dilakukan karena terbatasnya sensor yang tersedia dalam sistem pemantauan cuaca standar. Oleh karena itu, berbagai model empiris telah dikembangkan untuk memperkirakan kelembaban daun berdasarkan parameter cuaca yang lebih mudah diakses, seperti kelembaban relatif dan depresi titik embun.
Kemajuan dalam pembelajaran mesin telah membuka peluang baru dalam estimasi kelembaban daun dengan memanfaatkan data meteorologi yang lebih kompleks. Metode ini memungkinkan identifikasi pola yang lebih mendalam melalui algoritma yang secara iteratif belajar dari data historis. Dalam penelitian ini, sembilan algoritma pembelajaran mesin dibandingkan dengan empat model empiris untuk menilai efektivitas pendekatan dalam memperkirakan pola kelembaban daun di ekosistem liar yang memiliki gradien iklim.
Penelitian ini dilakukan di ekosistem maritim beriklim sedang dengan variasi iklim pesisir dan daratan. Data meteorologi dikumpulkan dari empat stasiun cuaca yang mengukur suhu udara, kelembaban relatif, kecepatan angin, serta radiasi matahari. Selain itu, pencitraan drone digunakan untuk menganalisis distribusi kelembaban daun dan dampaknya terhadap kesehatan tanaman.
Model empiris yang digunakan dalam penelitian ini mencakup pendekatan berbasis kelembaban relatif dengan ambang batas 87%, 90%, dan 92%, serta model berbasis depresi titik embun yang mengestimasi durasi kelembaban daun berdasarkan perbedaan antara suhu udara dan titik embun. Sementara itu, metode pembelajaran mesin yang diuji meliputi regresi logistik (LR), analisis diskriminan linear (LDA), Gaussian Naïve Bayes (GNB), pohon keputusan (CART), k-nearest neighbor (kNN), support vector machine (SVM), random forest (RF), extreme gradient boosting (XGB), dan multilayer perceptron (MLP).
Evaluasi kinerja model dilakukan menggunakan metrik akurasi, presisi, recall, dan area under the curve (AUC) untuk menilai kemampuan model dalam mengklasifikasikan kondisi kelembaban daun sebagai “basah” atau “kering” berdasarkan data cuaca yang tersedia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model berbasis depresi titik embun dan kelembaban relatif dengan ambang batas 90% memberikan akurasi prediksi yang tinggi, sebanding dengan model pembelajaran mesin. Model berbasis depresi titik embun memiliki nilai AUC sebesar 0,88, sementara model berbasis kelembaban relatif memiliki AUC berkisar antara 0,85 hingga 0,88 tergantung pada ambang batas yang digunakan.
Dalam analisis lebih lanjut, model pembelajaran mesin berbasis MLP yang mengintegrasikan variabel kelembaban relatif, suhu udara, depresi titik embun, kecepatan angin, dan radiasi matahari menghasilkan akurasi tertinggi, dengan peningkatan sekitar 2% dibandingkan model empiris terbaik. Namun, perbedaan ini tidak signifikan secara statistik, menunjukkan bahwa pendekatan empiris yang lebih sederhana masih dapat digunakan secara efektif untuk memperkirakan kelembaban daun dalam sistem pemantauan penyakit tanaman.
Penerapan model ini dalam studi lapangan menunjukkan bahwa durasi kelembaban daun bervariasi secara signifikan sepanjang gradien iklim pesisir hingga daratan. Wilayah pesisir mengalami durasi kelembaban daun yang lebih lama akibat frekuensi tinggi kabut dan kelembaban relatif yang lebih tinggi, sementara daerah yang lebih jauh dari pantai cenderung mengalami kondisi yang lebih kering. Analisis pencitraan drone juga menunjukkan hubungan yang kuat antara durasi kelembaban daun dan tingkat kematian kanopi pada spesies manzanita (Arctostaphylos tomentosa dan A. pumila), dengan tingkat kematian yang lebih tinggi di daerah yang mengalami kelembaban daun berkepanjangan.
Studi ini menyoroti bahwa baik model empiris berbasis depresi titik embun maupun metode pembelajaran mesin dapat digunakan secara efektif untuk memperkirakan kelembaban daun di ekosistem liar. Meskipun pembelajaran mesin menawarkan keunggulan dalam mengolah data yang lebih kompleks, model empiris yang lebih sederhana tetap memiliki akurasi yang tinggi dan dapat diterapkan dengan lebih efisien dalam sistem pemantauan penyakit tanaman. Hasil ini menggarisbawahi pentingnya mempertimbangkan keterjangkauan dan efisiensi dalam pemilihan model untuk analisis mikroklimat dan epidemiologi penyakit tanaman.
Sumber:
Leave a Reply