Konservasi Genetik Ammopiptanthus Mongolicus untuk Ketahanan Iklim di Asia Tengah

Dalam menghadapi perubahan iklim yang semakin ekstrem, konservasi spesies tumbuhan xerik menjadi tantangan besar. Salah satu spesies yang menarik perhatian adalah Ammopiptanthus mongolicus, sebuah semak hijau abadi yang tumbuh di padang pasir Asia Tengah. Spesies ini telah beradaptasi terhadap suhu ekstrem, dengan toleransi hingga +40°C di musim panas dan -30°C di musim dingin. Namun, rendahnya tingkat perkecambahan dan regenerasi alami membuatnya rentan terhadap kepunahan. Oleh karena itu, diperlukan strategi konservasi berbasis genomik yang mempertimbangkan variasi genetik adaptif terhadap lingkungan.

Penelitian terbaru menggunakan pendekatan Restriction site Associated DNA sequencing (RADs) untuk menganalisis variasi genetik A. mongolicus dari 217 sampel yang tersebar di 19 populasi. Metode ini memungkinkan identifikasi polimorfisme nukleotida tunggal (Single Nucleotide Polymorphisms/SNPs) yang berkaitan dengan adaptasi iklim. Dengan mengintegrasikan pemodelan relung ekologi (Ecological Niche Modeling/ENM) dan metode GradientForest (GF), penelitian ini berhasil mengelompokkan populasi berdasarkan kesamaan genetik dan faktor lingkungan. Hasilnya menunjukkan bahwa wilayah tengah-timur dan barat-utara merupakan habitat yang paling sesuai, sementara wilayah selatan dan utara memiliki tingkat kesesuaian yang lebih rendah.

Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa terdapat 1637 SNP adaptif yang menunjukkan diferensiasi genetik signifikan berdasarkan suhu dan curah hujan. Secara khusus, suhu musim dingin (BIO6), suhu maksimum bulan terpanas (BIO5), dan musim hujan terkering (BIO17) merupakan faktor utama yang mempengaruhi distribusi variasi genetik. Selain itu, analisis struktur populasi menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara klaster genetik dan lingkungan, terutama di daerah perifer. Hal ini menandakan bahwa gen adaptif tidak selalu mengikuti aturan isolasi berdasarkan jarak, seperti yang terjadi pada gen netral.

Pemisahan zona benih dan pembiakan berbasis genomik mengidentifikasi lima zona utama, dengan zona III yang terletak di bagian barat laut memiliki tingkat keanekaragaman genetik paling rendah. Populasi di zona perifer menunjukkan muatan genetik lebih tinggi yang mengindikasikan tekanan seleksi akibat perubahan lingkungan yang cepat. Dengan mempertimbangkan pola adaptasi ini, strategi konservasi perlu mengakomodasi keberagaman genetik adaptif untuk memastikan ketahanan populasi terhadap perubahan iklim.

Dalam konteks pengelolaan konservasi, konsep unit pengelolaan adaptif (Adaptive Management Units/AMUs) menjadi semakin penting. Pendekatan ini memungkinkan penyelarasan antara konservasi in situ dan strategi migrasi berbantuan (Assisted Migration). Sebagai contoh, populasi di zona V yang telah beradaptasi terhadap musim dingin yang lebih hangat dapat digunakan sebagai sumber genetik bagi populasi yang menghadapi pemanasan global. Dengan cara ini, penyebaran gen adaptif dapat ditingkatkan untuk meningkatkan ketahanan spesies terhadap perubahan lingkungan.

Ke depan, pemanfaatan data genomik dalam konservasi A. mongolicus harus dikombinasikan dengan pemodelan distribusi spesies (Species Distribution Models/SDMs) untuk memprediksi pergeseran habitat akibat perubahan iklim. Dengan pendekatan berbasis data ini, konservasi dapat dirancang secara lebih presisi, mengurangi risiko kepunahan, dan mempertahankan keanekaragaman genetik spesies xerik di Asia Tengah.

Sumber:

Yang, Y.Z., Sun, P.W., Ke, C.Y., Luo, M.X., Chang, J.T., Chao, C.T., Gao, R.H. and Liao, P.C., 2025. Towards climate-resilient conservation: Integrating genetics and environmental factors in determining adaptive units of a xeric shrub. Global Ecology and Conservation57, p.e03417.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *