Alkaptonuria (AKU) adalah penyakit genetik langka yang disebabkan oleh mutasi pada gen Homogentisate 1,2-dioxygenase (HGD), yang mengganggu metabolisme tirosin. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit pertama yang diidentifikasi sesuai prinsip pewarisan resesif Mendel. AKU ditandai dengan akumulasi asam homogentisat (HGA) dalam jaringan tubuh, yang menyebabkan okronosis, artritis, dan komplikasi sistemik lainnya. Insidensi AKU yang sangat rendah, yaitu sekitar 1 dari 250.000 hingga 1 juta kelahiran, membuatnya sulit untuk dipahami secara menyeluruh, baik dari segi diagnosis maupun pengobatan.
Precision medicine (PM) adalah pendekatan yang semakin berkembang untuk mengatasi penyakit berdasarkan variabilitas genetik, lingkungan, dan gaya hidup individu. Dalam konteks penyakit langka seperti AKU, PM memainkan peran penting dalam menyediakan pendekatan perawatan yang terpersonalisasi. Salah satu komponen kunci PM adalah stratifikasi pasien, yaitu pengelompokan pasien berdasarkan karakteristik genetik dan fenotipik mereka. Teknologi seperti machine learning (ML) menjadi alat utama untuk menganalisis data kompleks dan mengidentifikasi pola yang tidak terdeteksi secara manual.
Dalam penelitian ini, ApreciseKUre, sebuah basis data digital khusus untuk AKU, telah dikembangkan untuk mengatasi tantangan dalam mengelola dan menganalisis data pasien AKU. Basis data ini mengintegrasikan data genotipe, fenotipe, biokimia, histopatologi, dan klinis dari lebih dari 200 pasien AKU. Dengan memanfaatkan algoritma ML, ApreciseKUre memungkinkan stratifikasi pasien yang lebih akurat dan pengembangan perawatan berbasis data.
Penelitian menggunakan ApreciseKUre mengintegrasikan analisis genotipe dan fenotipe untuk memahami korelasi antara mutasi gen HGD dan manifestasi klinis AKU. Sebagai penyakit yang terkait dengan mutasi pada enzim HGD, aktivitas enzim yang berkurang menjadi penentu utama tingkat keparahan AKU. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa mutasi seperti G161R memiliki aktivitas enzim yang sangat rendah, kurang dari 1%, sedangkan mutasi lain seperti M368V dan A122V mempertahankan aktivitas enzim hingga 34-37%. Perbedaan ini berimplikasi langsung pada tingkat akumulasi HGA dalam tubuh pasien, yang pada akhirnya memengaruhi keparahan gejala klinis.
Dengan menggunakan algoritma ML, seperti K-means clustering dan hierarchical clustering, pasien AKU dapat dikelompokkan berdasarkan data genotipe, biomarker biokimia, dan skor kualitas hidup (Quality of Life/QoL). Stratifikasi ini mengidentifikasi subkelompok pasien dengan tingkat keparahan yang berbeda. Misalnya, pasien dengan skor QoL rendah dan biomarker inflamasi tinggi, seperti Serum Amyloid A (SAA) dan Chitotriosidase (CHIT1), cenderung berada dalam kluster yang menunjukkan keparahan tinggi. Sebaliknya, pasien dengan biomarker normal dan skor QoL tinggi berada dalam kluster yang lebih ringan.
Biomarker lain yang penting dalam stratifikasi ini adalah Protein Thiolation Index (PTI), yang menunjukkan tingkat stres oksidatif pada pasien AKU. PTI ditemukan berkorelasi positif dengan usia pasien dan tingkat keparahan penyakit, menunjukkan bahwa stres oksidatif memainkan peran penting dalam patogenesis AKU. Analisis ini mengungkapkan bahwa pasien yang lebih tua cenderung memiliki tingkat PTI yang lebih tinggi, yang terkait dengan gejala klinis yang lebih parah, seperti artritis berat dan keterbatasan mobilitas.
Salah satu fokus utama penelitian ini adalah memetakan distribusi mutasi genetik terhadap tingkat keparahan fenotipe. Mutasi G161R, misalnya, ditemukan lebih sering pada pasien yang termasuk dalam kluster dengan keparahan tinggi. Sebaliknya, mutasi M368V dan A122V lebih umum ditemukan pada pasien dengan gejala yang lebih ringan. Penemuan ini penting karena memberikan dasar untuk memahami hubungan genotipe-fenotipe, yang dapat menjadi panduan dalam mengembangkan terapi target.
Selain itu, penelitian ini menunjukkan pentingnya penggunaan data QoL dalam stratifikasi pasien. Skor QoL, seperti AKU Severity Score Index (AKUSSI) dan Knee Injury and Osteoarthritis Outcome Score (KOOS), digunakan untuk mengevaluasi dampak klinis penyakit pada pasien. Skor ini menunjukkan bahwa pasien dengan skor KOOS rendah mengalami lebih banyak masalah dengan mobilitas, sedangkan skor AKUSSI yang lebih tinggi mencerminkan tingkat keparahan penyakit yang lebih besar.
Dalam analisis lanjut, algoritma K-means digunakan untuk membagi pasien menjadi dua hingga empat kluster berdasarkan data yang tersedia. Hasil menunjukkan bahwa kluster dengan pasien yang lebih tua dan tingkat biomarker yang lebih tinggi sering dikaitkan dengan gejala yang lebih parah. Sebaliknya, kluster dengan pasien yang lebih muda menunjukkan tingkat keparahan yang lebih rendah. Analisis ini menyoroti kemampuan ML untuk mengidentifikasi pola dalam data yang kompleks, yang tidak mudah dikenali menggunakan metode tradisional.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa penerapan PM dengan memanfaatkan ML dan basis data khusus, seperti ApreciseKUre, dapat memberikan wawasan baru dalam memahami penyakit langka seperti alkaptonuria. Stratifikasi pasien berbasis data memungkinkan identifikasi subkelompok pasien dengan karakteristik klinis yang serupa, membuka peluang untuk pengembangan terapi yang lebih personal.
Penemuan ini menegaskan pentingnya integrasi data genotipe, fenotipe, dan biomarker dalam pengelolaan penyakit langka. Meskipun penelitian ini menghadapi tantangan dalam jumlah sampel yang terbatas, pendekatan berbasis ML memberikan bukti bahwa data yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pemahaman dan perawatan AKU. Langkah selanjutnya adalah memperluas basis data ini dan menerapkan metode serupa pada penyakit langka lainnya untuk mendukung pengembangan strategi perawatan yang lebih efektif dan terpersonalisasi.
Sumber:
Spiga, O., Cicaloni, V., Dimitri, G.M., Pettini, F., Braconi, D., Bernini, A. and Santucci, A., 2021. Machine learning application for patient stratification and phenotype/genotype investigation in a rare disease. Briefings in Bioinformatics, 22(5), p.bbaa434.
Leave a Reply