Perkembangan teknologi sekuensing asam deoksiribonukleat (DNA) dalam dua dekade terakhir telah mendorong lahirnya era baru dalam konservasi keanekaragaman hayati. Dalam konteks global, basis data genom—yakni sistem penyimpanan terstruktur yang menghimpun informasi urutan DNA dari berbagai spesies—berperan krusial dalam mengintegrasikan data biologis ke dalam kebijakan dan tindakan konservasi berbasis bukti. Di sisi lain, genomik populasi, atau population genomics, merupakan pendekatan yang mengkaji variasi genetik di antara individu dalam suatu populasi dengan menggunakan data genom skala luas, memberikan wawasan penting terkait struktur populasi, aliran gen, dan adaptasi lokal.
Meskipun potensi aplikatif genomik terhadap konservasi telah sering dibahas dalam ranah akademik, kesenjangan antara penghasil data dan pelaksana konservasi di lapangan masih menjadi hambatan utama. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat pemanfaatan basis data genom dalam pengambilan keputusan konservasi, terutama dalam mengelola spesies yang terancam punah. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya tenaga kerja yang memiliki kompetensi untuk memahami dan menerjemahkan data genomik ke dalam kebijakan dan strategi konservasi yang dapat diimplementasikan secara nyata.
Seiring meningkatnya jumlah konsorsium global seperti Earth BioGenome Project, California Conservation Genomics Project, dan European Reference Genome Atlas, upaya pengumpulan dan publikasi data genomik dari spesies non-model mengalami lonjakan signifikan. Proyek-proyek ini tidak hanya menyusun assembly genom referensi, tetapi juga menghasilkan sumber daya genomik populasi yang mencakup variasi genetik dalam spesies, distribusi alel, dan ukuran populasi efektif. Data semacam ini menjadi tulang punggung dalam merancang tindakan konservasi, seperti seleksi sumber populasi untuk translokasi, pemantauan hibridisasi, dan pengelolaan populasi eks situ.
Namun, kendala utama yang masih dihadapi adalah kesenjangan infrastruktur dan sumber daya antara negara maju dan negara berkembang. Dari tujuh belas negara megabiodiversitas di dunia, hanya dua—Amerika Serikat dan Australia—yang tergolong negara maju dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita tinggi. Ketimpangan ini mencerminkan ketidakseimbangan akses terhadap teknologi sekuensing, perangkat lunak bioinformatika, serta dana penelitian. Akibatnya, banyak spesies endemik di kawasan tropis yang memiliki nilai konservasi tinggi justru belum tercakup dalam proyek-proyek genomik berskala global.
Lebih lanjut, faktor kompleksitas teknis seperti perbedaan ukuran genom, tingkat ploiditas, dan arsitektur kromosom pada spesies non-model menyulitkan adopsi langsung metode sekuensing yang awalnya dikembangkan untuk manusia dan spesies domestik. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan translational science—sebuah paradigma yang menghubungkan hasil riset dasar dengan aplikasi praktis—agar teknologi genomik dapat diakses dan dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan konservasi di berbagai belahan dunia.
Untuk mewujudkan translasi ilmu pengetahuan ke dalam kebijakan konservasi yang operasional, beberapa indikator telah diusulkan dalam Global Biodiversity Framework tahun 2022. Tiga indikator utama yang dianggap mampu memantau keberagaman genetik dalam kerangka kebijakan adalah: (1) ukuran populasi efektif (effective population size), (2) proporsi populasi yang dipertahankan dalam spesies, dan (3) jumlah spesies yang dipantau menggunakan metode berbasis DNA. Ketiga indikator ini dirancang agar dapat diterapkan lintas negara dan lintas ekosistem dengan biaya yang relatif rendah, serta mampu mendukung pengambilan keputusan konservasi yang terstandarisasi.
Di sisi teknis, munculnya teknologi baru seperti sekuensing dengan presisi tinggi, analisis ekspresi gen, dan sekuensing DNA lingkungan (eDNA) memperluas cakupan data yang bisa dimanfaatkan. Koleksi museum sejarah alam, yang sebelumnya hanya berperan sebagai arsip spesimen, kini dapat diakses untuk menganalisis dinamika temporal erosi genomik, sehingga memungkinkan studi perubahan keragaman genetik dalam jangka waktu panjang. Selain itu, pendekatan eDNA menawarkan metode yang non-invasif dan cepat untuk memetakan kehadiran spesies dalam suatu ekosistem tanpa harus menangkap atau mengamati secara langsung.
Namun demikian, tantangan etik dan sosial juga tidak dapat diabaikan. Prinsip-prinsip Findability, Accessibility, Interoperability, and Reusability (FAIR) dan Collective benefit, Authority to control, Responsibility, and Ethics (CARE) harus menjadi pijakan dalam pengelolaan data genomik, terutama untuk data yang berasal dari komunitas adat dan negara berkembang. Keterlibatan masyarakat lokal dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya merupakan prasyarat mutlak dalam desain proyek konservasi berbasis genomik yang berkelanjutan.
Dalam praktiknya, beberapa studi telah menunjukkan bahwa pemanfaatan data genomik mampu meningkatkan efektivitas konservasi. Contohnya, dalam kasus scimitar-horned oryx, kombinasi data mitokondria, mikrosatelit, dan single nucleotide polymorphism* (SNP) berhasil digunakan untuk merancang strategi reintroduksi yang mempertahankan variasi genetik optimal. Sementara itu, pengelolaan Tasmanian devil yang terancam oleh penyakit tumor wajah berhasil diarahkan berdasarkan data dari sekuensing genom utuh dan penilaian gen-gen imun yang terlibat dalam respons terhadap infeksi.
Kendati demikian, penyusunan alat bantu analitik yang mudah diakses dan digunakan oleh praktisi masih menjadi kebutuhan mendesak. Inisiatif seperti Pop-Gen Pipeline Platform dan GenErode merupakan langkah awal yang menjanjikan, namun penggunaannya masih cukup kompleks bagi non-spesialis. Oleh karena itu, pelatihan berkelanjutan, integrasi kurikulum bioinformatika dalam pendidikan tinggi, dan peningkatan literasi genetik di kalangan pembuat kebijakan menjadi elemen penting dalam memperkecil kesenjangan antara riset dan implementasi.
Melihat urgensi krisis keanekaragaman hayati global, investasi dalam bidang genomik untuk konservasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Pendekatan nature-positive, yaitu upaya yang bertujuan menghentikan dan membalikkan laju kehilangan keanekaragaman hayati dari garis dasar tahun 2020, hanya dapat diwujudkan jika tersedia kerangka ekonomi yang memungkinkan sektor swasta untuk berkontribusi dalam pembangunan basis data publik sebagai aset konservasi. Dengan menjadikan data genomik sebagai infrastruktur terbuka dan dapat diakses, kita dapat menciptakan sinergi antara dunia akademik, sektor bisnis, dan lembaga konservasi.
Akhirnya, integrasi antara basis data genom dan pendekatan genomik populasi membuka peluang baru dalam memetakan struktur dan fungsi keanekaragaman genetik global. Apabila diterapkan secara luas dan adil, pendekatan ini akan menjadi panduan navigasi yang tak tergantikan dalam perjalanan umat manusia menjaga kehidupan di Bumi yang makin terfragmentasi oleh aktivitas antropogenik.
Sumber:

Leave a Reply