Rafflesia Terancam Punah di Hutan Asia Tenggara

Rafflesia, genus tumbuhan berbunga terbesar di dunia, kini menghadapi krisis kelestarian yang mendalam. Dengan kelopak raksasa yang menakjubkan dan struktur reproduktif unik, tanaman ini tidak hanya menarik secara biologis tetapi juga memiliki nilai simbolik sebagai ikon keanekaragaman hayati tropis. Namun, kajian terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar spesies dalam genus Rafflesia saat ini berada di ambang kepunahan, akibat tekanan habitat, perubahan tata guna lahan, dan lemahnya integrasi konservasi berbasis masyarakat. Keprihatinan ini menjadi semakin relevan karena konservasi Rafflesia tidak hanya menyangkut pelestarian satu spesies, tetapi juga keberlanjutan ekosistem hutan hujan tropis di Asia Tenggara, yang menjadi habitat alaminya.

Rafflesia dikenal karena menghasilkan bunga yang sangat besar, dengan diameter bisa mencapai lebih dari satu meter, serta aroma khas seperti daging membusuk yang menarik serangga penyerbuk. Keunikan biologis ini menjadikan Rafflesia sebagai objek riset evolusi dan ekologi. Namun, justru karena keunikannya, Rafflesia memiliki ketergantungan tinggi terhadap lingkungan tempat tumbuhnya. Ia merupakan parasit obligat pada tumbuhan inang dari genus Tetrastigma, anggota keluarga Vitaceae, yang hidup di bawah naungan hutan tropis lembap. Ketergantungan tersebut menyebabkan distribusi Rafflesia menjadi sangat terbatas dan mudah terganggu oleh aktivitas manusia. Deforestasi, pembangunan infrastruktur, serta pengambilan spesimen tanpa regulasi telah mempercepat penurunan populasi Rafflesia di berbagai wilayah, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Kajian yang dilakukan oleh Pastor Malabrigo Jr. bersama para peneliti dari berbagai negara memperlihatkan bahwa sebagian besar spesies Rafflesia belum tercatat secara memadai dalam daftar konservasi global maupun nasional. Sebagian besar spesies belum dinilai secara resmi oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for Conservation of Nature/IUCN), sehingga tidak memiliki status konservasi yang jelas. Hal ini menjadi hambatan dalam upaya penyusunan kebijakan perlindungan karena tidak tersedia data dasar yang kuat sebagai acuan. Penelitian ini juga menyoroti kurangnya integrasi antara pengetahuan lokal, ilmiah, dan kebijakan dalam menangani konservasi bunga Rafflesia.

Salah satu tantangan konservasi Rafflesia adalah sifat biologinya yang tidak memungkinkan untuk dibudidayakan dengan cara konvensional. Tanpa jaringan akar atau daun, tanaman ini tidak bisa diperbanyak melalui metode kultur jaringan atau penyemaian benih di luar inangnya. Upaya pelestarian ex situ menjadi sangat terbatas, sehingga konservasi in situ di habitat alaminya menjadi pilihan utama. Namun, konservasi in situ menuntut perlindungan ekosistem hutan secara menyeluruh, serta pelibatan aktif masyarakat lokal dalam memantau, melindungi, dan melestarikan populasi Rafflesia yang ada di wilayah mereka.

Penelitian ini juga memberikan rekomendasi strategis, salah satunya adalah mendorong agar seluruh spesies Rafflesia segera dinilai status konservasinya melalui pendekatan taksonomi modern dan pemetaan populasi. Selain itu, diperlukan penguatan peran taman nasional, kawasan hutan lindung, dan lembaga riset lokal dalam menyediakan data monitoring jangka panjang yang valid. Kolaborasi antarnegara di kawasan Asia Tenggara juga menjadi kunci, mengingat distribusi genus ini melintasi batas-batas administratif yang tidak sejalan dengan batas-batas ekologi.

Krisis kepunahan yang dihadapi Rafflesia seharusnya menjadi peringatan serius bagi komunitas konservasi global. Bunga yang sering kali dijadikan lambang keunikan hutan tropis ini berisiko lenyap dalam waktu yang tidak lama, apabila tidak ada intervensi konservasi yang terintegrasi, berbasis ilmu pengetahuan, dan berpihak pada kelestarian jangka panjang. Pelestarian Rafflesia berarti menjaga warisan hayati dan evolusioner yang telah terbentuk selama jutaan tahun, sekaligus menjaga hubungan spiritual dan budaya masyarakat lokal yang menjadikan bunga ini sebagai bagian dari identitas ekologis mereka. Maka dari itu, menyelamatkan Rafflesia bukan sekadar menyelamatkan bunga, tetapi menyelamatkan ekosistem yang menopangnya.

Sumber:

Malabrigo Jr, P., Tobias, A.B., Witono, J., Mursidawati, S., Susatya, A., Siti‐Munirah, M.Y., Wicaksono, A., Raihandhany, R., Edwards, S. and Thorogood, C.J., 2025. Most of the world’s largest flowers (genus Rafflesia) are now on the brink of extinction. Plants, People, Planet7(2), pp.331-346.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *